Jika
otakku masih melayaniku dengan baik, hari itu hari Sabtu yang berada di akhir
Juni. Panas maha terik dengan angin maha kencang tentu menjadi setting jalan
raya dan ke maha tengikan pancaroba yang datang terlambat ini adalah musuh
besar para penyepeda di kota yang sudah
mulai sumuk ini. Entah saat itu berat badanku makin tidak sopan jumlahnya atau
memang kakiku melemas setelah dipanasi musim dan jantungku diteror rapot yang
menunggu di sekolah.
Umurku
14 waktu itu dan aku adalah penghuni ranking garda bawah semasa kelas X. Dan
seperti mereka mereka katakan, “Kalian yang gagal masuk IPA adalah orang yang
tidak niat sekolah”. Ah Masyarakat. Dan kurang lebihnya aku juga viktim yang
seperti itu itu. Sukur saja Ibu adalah wanita demokratis. Kiranya deskripsi
untuk Ayah akan lebih jelas jika anda membaca lebih lanjut.
Sebenarnya
itu hari libur tapi bagi mereka yang kurang lebih adalah penunggu sekolah,
tidak ada hari libur.
Tidak, aku bukan anggota OSIS. Aku
bukan tipe orang yang gampang berdemokrasi dengan mereka yang berbeda dasar
berpikir. Jadi untuk menghindari masalah internal atau malah kasus terburuknya
keluar di tengah jalan, aku tidak ikut ke dalam organisasi yang kurang lebihnya,
bagiku, mengopress.
Sabtu itu adalah rapat klub
Bahasa Inggris di perpustakaan yang sebenarnya tidak ada kaitanya dengan semua
ini. Sengaja ku tulis karena kalian adalah orang yang selalu ingin tahu detail
detail. Aku bukan tipe orang yang memperbodoh orang lain, bukan tipe orang yang
menjawab “Ih kepo” kepada orang yang bertanya. Sejak kecil aku diajari untuk
menjawab pertanyaan seperlunya, bukan termakan gelombang amoral. Paragraf ini
tidak terlalu penting bagi mereka yang sedikit sekuler terhadap kehidupan
penulis. Maaf.
Aku malu waktu itu karena aku
mafhum akan segala hal remeh temeh yang senang kulakukan semasa kelas X. Jadi
kurang lebih aku tidak cukup jantan untuk keluar dari perpustakaan. Ah anak
muda.
Jam dinding seakan menertawakan
keringat dingin yang detik demi detik mengucur. Mungkin aku sudah menghabiskan
setengah jam hanya untuk membaca dua halaman novel yang sebenarnya tidak aku
baca benar benar. Dan seperempat jantungku berhenti berfungsi setelah melihat
Ibuku keluar dari gedung induk sekolah. Dan setengah berhenti ketika Ibu
menyuruhku melihat rapotku.
Yap, sebenarnya aku ingin menscan
tulisan jelas “Naik ke kelas IPS” di rapot kelas 10-ku tapi karena aku terlalu
malas beranjak ya kiranya kalian juga sudah mafhum setelah titik berikut ini.
“Kalau kakak ingin pindah ke IPA,
sekarang pergi ke ruang kurikulum”, ucap Ibu tanpa keringat. Adanya malah Ibu
bertemu dengan temanya semasa SMP yang anaknya satu SMA denganku.
Aku bergidik. Apa yang akan
dilakukan pada ayahku. Aku sudah membayangkan penyiksaan model abad
pertengahan. Mungkin saja di rumah aku akan dihukum secara adat seperti para
pelaku zina pada masa keraton. Atau lebih buruknya koneksi internet akan
dicabut. Aku bersimbah keringat. Memang saat itu panas betul, tapi kelenjar
keringatku terlalu berlebihan mengemisi keringat.
“Nggak jadi kak ? Kalo Ibu sih
nggak apa apa, tapi Ayahmu itu lho”. Lalu Ibu melanjutkan mengobrol cekikikan.
Kakiku melangkah sendiri ke ruang
kurikulum. Tapi sebelum aku masuk, ada orang tua meronta menangis menangis
kenapa anaknya harus masuk ke jurang para mereka yang terbuang. Sontak aku
menguping kebusukan pola pikir masyarakat dan pada momentum itu juga aku sadar
bahwa aku cukup bodoh untuk juga kalut ke dalam pikiran itu.
“Maaf pak, apa bapak tidak bisa
mengecek ulang nilai anak saya sekali lagi ?”, pinta laki laki yang kuukur
umurnya 40an. Ia sedang meronta ronta mempertahankan nasib anaknya yang ngebet
ingin masuk kedokteran kepada pihak kurikulum yang kebetulan guru Matematika
kesayangan kita semua, Pak Nanang.
“Maaf juga pak, kiranya malah nanti
kita yang salah jika kami memaksakan anak bapak yang kurang mampu mengikuti
jurusan IPA”, jawab Pak Nanang kalem. “Tetapi jika memang sangat memaksa, anak
bapak bisa mengikuti tes pindah jurusan yang diadakan saat liburan sekolah.”
Tidak, aku tidak mengikutinya. Aku
sudah sadar. Jika aku yang nilai Fisika, Kimia, Biologinya tidak ada 85 –semua flat
80- nekat masuk IPA, maka aku tidak bisa mengukur kemampuan. Yang bilang diriku
pintar adalah mereka yang bukan aku. Yang bisa mengukur kemampuanku hanya aku. Jika
masuk ke jurusan IPA, aku hanya akan menjadi siswa remeh temeh yang liburan
tengah semester dan pindah semesternya digunakan untuk remidi ini itu. Apa yang
kalian harapkan dari anak imbesil dengan ranking tiga digit semasa kelas X ?
Masuk ke jurusan IPA hanya akan menyiksaku. Dan lebih buruknya aku hanya akan
membuat kerusuhan di masyarakat. Bayangkan jika aku yang pah poh fisika ini,
bisa memasuki jurusan IPA dan menjadi arsitek, bisa bisa aku merobohkan
bangunan yang nilai nominalnya memiliki banyak nol – 17 barang kali. Atau aku
yang tidak bisa menghapal system otot bicep, tricep dan cep cep lainya menjadi
dokter. Bakal berapa nyawa yang melayang jika aku melakukan mal praktek ? Ah
kiranya aku terlalu hiperbolis. Tentu realitanya tidak seekstrim itu.
Akhirnya aku bisa mendapat akal
sehatku. Aku keluar dari gedung induk sekolah tanpa mampir ke ruang kurikulum
dengan flamboyanya.
“Nggak usah bu’, aku IPS aja”,
jawabku mantab.
*********
Saat makan malam di rumah, Ayahku
tidak sebarbar yang kupikirkan. Hanya saja Ayah hanya tidak ingin ambil dalih
tentang sekolah tetek bengekku.
“Ya terserah kamu saja. Ayah
hanya memfasilitasi. Hanya Ayah tidak punya koneksi untuk lulusan SMA jurusan
IPS untuk keperguruan tinggi”, nasihat ayah begitu serius.
Sesungguhnya memang aku sedikit
terpukul. Tapi aku mafhum dan mawas diri akan seluruh perilakuku yang kurang
produktif selama ini. Tentu cita cita yang mengharuskan diriku untuk masuk ke
fakultas yang berbau IPA sirna. Tetapi bukankah sungguh ironis, anak jurusan
IPA bisa murtad jurusan sesuka udel mereka, mengambil jatah para imbesil IPS ? Ah
masyarakat.
Tapi aku mafhum, anak IPA adalah
anak anak yang jauh lebih pintar dariku. Aku bukan level mereka. Semasa kelas X
saja rankingku di kelas hanya 25 dari 32 anak.
Tapi saat ini, rasa terpukul itu
hilang sempurna. Aku tahu betapa indah Tuhan merancang semua ini. Mungkin jika
aku nekat memasuki ujian pindah jurusan tersebut, black hole akan muncul dari
perut bumi dan menelan semua jagat raya karena aku telah menghancurkan
konstelasi Tuhan yang maha sempurna. Aku adalah bukti nyata bahwa Tuhan memberimu apa yang kau
butuhkan, bukan yang kau inginkan.
Aku adalah murid sosial dan aku
bangga. Tuhan memerintahku untuk mengkalkulasi harmoni yang indefinite karena Tuhan tahu aku tidak cukup pintar untuk meghitung hitungan yang memiliki
digit nol lebih dari 20. Dan aku sedang tidak menghibur diriku sendiri. Ini
semua rencana Tuhan. Ini semua baru prologue dari cerita cerita yang beranak
pinak dari anak yang dikata pintar oleh masyarakat yang duduk di kursi IPS.
Tuhan itu Maha asyik.
Indra.
No comments:
Post a Comment