Thursday, April 17, 2014

Prologue - Awal Semua Ini Terjadi



                Jika otakku masih melayaniku dengan baik, hari itu hari Sabtu yang berada di akhir Juni. Panas maha terik dengan angin maha kencang tentu menjadi setting jalan raya dan ke maha tengikan pancaroba yang datang terlambat ini adalah musuh besar para  penyepeda di kota yang sudah mulai sumuk ini. Entah saat itu berat badanku makin tidak sopan jumlahnya atau memang kakiku melemas setelah dipanasi musim dan jantungku diteror rapot yang menunggu di sekolah.
                Umurku 14 waktu itu dan aku adalah penghuni ranking garda bawah semasa kelas X. Dan seperti mereka mereka katakan, “Kalian yang gagal masuk IPA adalah orang yang tidak niat sekolah”. Ah Masyarakat. Dan kurang lebihnya aku juga viktim yang seperti itu itu. Sukur saja Ibu adalah wanita demokratis. Kiranya deskripsi untuk Ayah akan lebih jelas jika anda membaca lebih lanjut.

 
                Sebenarnya itu hari libur tapi bagi mereka yang kurang lebih adalah penunggu sekolah, tidak ada hari libur.
Tidak, aku bukan anggota OSIS. Aku bukan tipe orang yang gampang berdemokrasi dengan mereka yang berbeda dasar berpikir. Jadi untuk menghindari masalah internal atau malah kasus terburuknya keluar di tengah jalan, aku tidak ikut ke dalam organisasi yang kurang lebihnya, bagiku, mengopress.
Sabtu itu adalah rapat klub Bahasa Inggris di perpustakaan yang sebenarnya tidak ada kaitanya dengan semua ini. Sengaja ku tulis karena kalian adalah orang yang selalu ingin tahu detail detail. Aku bukan tipe orang yang memperbodoh orang lain, bukan tipe orang yang menjawab “Ih kepo” kepada orang yang bertanya. Sejak kecil aku diajari untuk menjawab pertanyaan seperlunya, bukan termakan gelombang amoral. Paragraf ini tidak terlalu penting bagi mereka yang sedikit sekuler terhadap kehidupan penulis. Maaf.
Aku malu waktu itu karena aku mafhum akan segala hal remeh temeh yang senang kulakukan semasa kelas X. Jadi kurang lebih aku tidak cukup jantan untuk keluar dari perpustakaan. Ah anak muda.
Jam dinding seakan menertawakan keringat dingin yang detik demi detik mengucur. Mungkin aku sudah menghabiskan setengah jam hanya untuk membaca dua halaman novel yang sebenarnya tidak aku baca benar benar. Dan seperempat jantungku berhenti berfungsi setelah melihat Ibuku keluar dari gedung induk sekolah. Dan setengah berhenti ketika Ibu menyuruhku melihat rapotku.
Yap, sebenarnya aku ingin menscan tulisan jelas “Naik ke kelas IPS” di rapot kelas 10-ku tapi karena aku terlalu malas beranjak ya kiranya kalian juga sudah mafhum setelah titik berikut ini.
“Kalau kakak ingin pindah ke IPA, sekarang pergi ke ruang kurikulum”, ucap Ibu tanpa keringat. Adanya malah Ibu bertemu dengan temanya semasa SMP yang anaknya satu SMA denganku.
Aku bergidik. Apa yang akan dilakukan pada ayahku. Aku sudah membayangkan penyiksaan model abad pertengahan. Mungkin saja di rumah aku akan dihukum secara adat seperti para pelaku zina pada masa keraton. Atau lebih buruknya koneksi internet akan dicabut. Aku bersimbah keringat. Memang saat itu panas betul, tapi kelenjar keringatku terlalu berlebihan mengemisi keringat.
“Nggak jadi kak ? Kalo Ibu sih nggak apa apa, tapi Ayahmu itu lho”. Lalu Ibu melanjutkan mengobrol cekikikan.
Kakiku melangkah sendiri ke ruang kurikulum. Tapi sebelum aku masuk, ada orang tua meronta menangis menangis kenapa anaknya harus masuk ke jurang para mereka yang terbuang. Sontak aku menguping kebusukan pola pikir masyarakat dan pada momentum itu juga aku sadar bahwa aku cukup bodoh untuk juga kalut ke dalam pikiran itu.
“Maaf pak, apa bapak tidak bisa mengecek ulang nilai anak saya sekali lagi ?”, pinta laki laki yang kuukur umurnya 40an. Ia sedang meronta ronta mempertahankan nasib anaknya yang ngebet ingin masuk kedokteran kepada pihak kurikulum yang kebetulan guru Matematika kesayangan kita semua, Pak Nanang.
“Maaf juga pak, kiranya malah nanti kita yang salah jika kami memaksakan anak bapak yang kurang mampu mengikuti jurusan IPA”, jawab Pak Nanang kalem. “Tetapi jika memang sangat memaksa, anak bapak bisa mengikuti tes pindah jurusan yang diadakan saat liburan sekolah.”
Tidak, aku tidak mengikutinya. Aku sudah sadar. Jika aku yang nilai Fisika, Kimia, Biologinya tidak ada 85 –semua flat 80- nekat masuk IPA, maka aku tidak bisa mengukur kemampuan. Yang bilang diriku pintar adalah mereka yang bukan aku. Yang bisa mengukur kemampuanku hanya aku. Jika masuk ke jurusan IPA, aku hanya akan menjadi siswa remeh temeh yang liburan tengah semester dan pindah semesternya digunakan untuk remidi ini itu. Apa yang kalian harapkan dari anak imbesil dengan ranking tiga digit semasa kelas X ? Masuk ke jurusan IPA hanya akan menyiksaku. Dan lebih buruknya aku hanya akan membuat kerusuhan di masyarakat. Bayangkan jika aku yang pah poh fisika ini, bisa memasuki jurusan IPA dan menjadi arsitek, bisa bisa aku merobohkan bangunan yang nilai nominalnya memiliki banyak nol – 17 barang kali. Atau aku yang tidak bisa menghapal system otot bicep, tricep dan cep cep lainya menjadi dokter. Bakal berapa nyawa yang melayang jika aku melakukan mal praktek ? Ah kiranya aku terlalu hiperbolis. Tentu realitanya tidak seekstrim itu.
Akhirnya aku bisa mendapat akal sehatku. Aku keluar dari gedung induk sekolah tanpa mampir ke ruang kurikulum dengan flamboyanya.
“Nggak usah bu’, aku IPS aja”, jawabku mantab.
*********

Saat makan malam di rumah, Ayahku tidak sebarbar yang kupikirkan. Hanya saja Ayah hanya tidak ingin ambil dalih tentang sekolah tetek bengekku.
“Ya terserah kamu saja. Ayah hanya memfasilitasi. Hanya Ayah tidak punya koneksi untuk lulusan SMA jurusan IPS untuk keperguruan tinggi”, nasihat ayah begitu serius.



Sesungguhnya memang aku sedikit terpukul. Tapi aku mafhum dan mawas diri akan seluruh perilakuku yang kurang produktif selama ini. Tentu cita cita yang mengharuskan diriku untuk masuk ke fakultas yang berbau IPA sirna. Tetapi bukankah sungguh ironis, anak jurusan IPA bisa murtad jurusan sesuka udel mereka, mengambil jatah para imbesil IPS ? Ah masyarakat.
Tapi aku mafhum, anak IPA adalah anak anak yang jauh lebih pintar dariku. Aku bukan level mereka. Semasa kelas X saja rankingku di kelas hanya 25 dari 32 anak.
Tapi saat ini, rasa terpukul itu hilang sempurna. Aku tahu betapa indah Tuhan merancang semua ini. Mungkin jika aku nekat memasuki ujian pindah jurusan tersebut, black hole akan muncul dari perut bumi dan menelan semua jagat raya karena aku telah menghancurkan konstelasi Tuhan yang maha sempurna. Aku adalah bukti nyata bahwa Tuhan memberimu apa yang kau butuhkan, bukan yang kau inginkan.
Aku adalah murid sosial dan aku bangga. Tuhan memerintahku untuk mengkalkulasi harmoni yang indefinite karena Tuhan tahu aku tidak cukup pintar untuk meghitung hitungan yang memiliki digit nol lebih dari 20. Dan aku sedang tidak menghibur diriku sendiri. Ini semua rencana Tuhan. Ini semua baru prologue dari cerita cerita yang beranak pinak dari anak yang dikata pintar oleh masyarakat yang duduk di kursi IPS.
Tuhan itu Maha asyik.

Indra.

No comments:

Post a Comment